Pertanyaan tentang adzan dan iqamah bagi bayi
yang baru lahir.
Pertanyaan :
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh,
Ustadz, bagaimana sebenarnya hukum
mengumandangkan adzan dan iqamah bagi bayi yang baru lahir? Benarkah tidak ada
dasar tuntunannya yang sahih? Dan apakah kita boleh belajar agama Islam lewat
mesin pencari Google?
Demikian, terima kasih atas pencerahannya.
Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
Jawaban :
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalah adzan di telinga bayi ini adalah
masalah khilafiyah, ada sebagian yang memandangnya mustahab dan sunnah, dimana
sebenarnya cukup banyak ulama yang berpendapat sunnahnya adzan di telinga bayi.
Karena urusan shahih tidaknya hadits adalah masalah yang masih diperdebatkan di
antara para ahli hadits sendiri.
Namun tidak bisa dipungkiri ada juga tidak
mau mengadzani bayi yang baru lahir, dengan beberapa alasan. Yang paling masuk
akal karena dianggapnya tidak ada hadits shahih bisa dijadikan dasar. Sekilas
pandangan ini bisa diterima, walaupun kalau kita kaji lebih dalam, sebenarnya
pendapat ini masih kurang lengkap dan terburu-buru mengambil kesimpulan.
Setidaknya para ulama masih berbeda pendapat atas hukumnya.
Selain itu juga ada alasan yang tidak bisa
diterima syariah, yaitu pandangan yang sampai kepada vonis bahwa mengadzani
bayi itu haram dan bid’ah, dengan alasan bahwa adzan itu hanya untuk memanggil
orang shalat.
Kenapa pandangan yang seperti itu tidak bisa
diterima syariah?
Karena ternyata sebagian ulama, khususnya
para ulama dalam mazhab Asy-Syafi’iyah memandang bahwa selain berfungsi untuk
memanggil orang-orang untuk shalat berjamaah, adzan juga boleh dikumandangkan
dalam konteks di luar shalat.
Dr. Wahbah Az-Zuhaily, ulama ahli fiqih
kontemporer abad 20 menuliskan dalam kitabnya Al-Fiqhul Islami Wa Adillathu
bahwa selain digunakan untuk shalat, adzan juga dikumandangkan pada beberapa
even kejadian lainnya. Dan salah satunya adalah untuk mengadzan bayi yang baru
lahir. (Al-Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhzdzdzab, jilid 9 hal. 348
)
Bukankah Hadits Adzan Bayi Itu Tidak Shahih?
Kalau kita belajar syariat Islam lewat kaidah
yang benar, khususnya lewat ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih, sekedar ada klaim
bahwa sebuah hadits itu tidak shahih, sebenarnya tidak cukup untuk menarik
kesimpulan bahwa sebuah perbuatan itu bid’ah. Mengapa?
Banyak orang kurang mengerti bahwa shahih
tidaknya suatu hadits itu sendiri cuma hasil ‘rekayasa’ manusia biasa.
Keshahihan suatu hadits itu bukan wahyu, sama sekali bukan datang dari Nabi
Muhammad SAW. Beliau SAW tidak pernah menetapkan suatu hadits itu shahih atau
tidak shahih. Malaikat Jibril pun tidak memberikan informasi tentang shahih
tidaknya suatu hadits.
Lalu kalau bukan dari Nabi SAW, siapa yang
boleh dan berhak menentukan keshahihan suatu hadits?
Jawabnya adalah para ahli hadits, yang dalam
hal ini sering disebut sebagai muhaddits. Mereka adalah manusia biasa yang
ketika memfatwakan suatu hadits, sama sekali tidak menggunakan wahyu melainkan
semata-mata menggunakan akal. Jadi shahih tidaknya suatu hadits semata-mata merupakan
hasil ijtihad akal semata.
Dan salah satu buktinya ternyata keshahihan
suatu hadits agak jarang disepakati oleh para muhaddits. Yang paling sering
terjadi adalah suatu hadits dishahihkan oleh satu muhaddits, sementara ada
sekian muhaddits lain tidak menshahihkan. Begitu juga sebaliknya, satu hadits
dianggap dhaif oleh satu muhaddits, sementara di tempat lain ada puluhan
muhaddits menshahihkannya.
Maka sebagai orang awam yang baru berkenalan
dengan agama Islam, wajib hukumnya mengetahui dasar-dasar ilmu hadits, agar
jangan sampai malah jadi penyesat umat Islam dengan pemahaman yang dangkal dan
menampakkan kekosongan ilmu agama.
Ulama Syariah Sangat Mengerti Hadits.
Kalau kita mau tahu siapakah ulama hadits
yang paling tinggi derajat keilmuannya, ternyata bukan Bukhari atau Muslim.
melainkan para ulama empat mazhab, yaitu Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik,
Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah.
Kenapa mereka lebih tinggi derajat
keilmuannya dari Bukhari dan Muslim?
Jawabnya karena ilmu yang mereka milik bukan
sebatas mengetahui apakah suatu hadits itu shahih atau tidak. Tetapi lebih jauh
dari itu, mereka juga menyusun kaidah dan ketentuan, kapan suatu hadits bisa
diterapkan untuk satu kasus dan kapan tidak bisa diterapkan. Dan tolok ukurnya
bukan semata keshahihan, tetapi ada lusinan pertimbangan lainnya.
Maka para fuqaha dan mujtahid itu lebih
tinggi dan lebih luas ilmunya dari sekedar menjadi ulama muhaddits biasa.
Hadits-hadits Tentang Adzan di Telinga Bayi.
Setidaknya ada tiga hadits yang menjadi dasar
masyru’iyah dalam melantunkan adzan untuk bayi yang baru lahir.
1. Hadits Pertama.
رَوَى أَبُو رَافِعٍ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ  أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ حِينَ وَلَدَتْهُ
فَاطِمَةُ
Abu Rafi meriwayatkan : Aku melihat
Rasulullah SAW mengadzani telinga Al-Hasan ketika dilahirkan oleh Fatimah. (HR.
Abu Daud, At-Tirmizy dan Al-Hakim)
Secara status hadits, Al-Imam At-Tirmizy
menegaskan bahwa yang beliau riwayatkan itu adalah hadits hasan shahih.
Demikian juga Al-Imam Al-Hakim menyebutkan keshahihan hadits ini juga.
Al-Imam An-Nawawi juga termasuk menshahihkan
hadits ini sebagaimana tertuang di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab.
2. Hadits Kedua.
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ
الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
Orang yang mendapatkan kelahiran bayi, lalu
dia mengadzankan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri, tidak akan celaka
oleh Ummu Shibyan. (HR. Abu Ya’la Al-Mushili)
Ummu shibyan adalah sebutan untuk sejenis jin
yang mengganggu anak kecil.
Hadits inilah yang dijadikan titik perbedaan
pendapat. Sebagian ulama hadits menerima hadits ini meski ada kelemahan.
Al-Imam Al-Baihaqi sendiri memang mengatakan bahwa dalam rangkaian perawinya
ada kelemahan. Namun beliau justru menggunakan hadits yang ada kelemahan ini
sebagai penguat atau syawahid dari hadits shahih lainnya.
Walhasil sebenarnya kalau pun hadits ini
dianggap dhaif dan tidak bisa dijadikan dasar pengambilan hukum, tentu tidak
mengapa. Sebab masih ada hadits lain yang shahih dan disepakati ulama
keshahihannya. Posisi hadits yang lemah ini sekedar menjadi syawahid saja.
Sedangkan Al-Albani bukan hanya mendhaifkan
tetapi malah bilang bahwa hadits ini palsu (maudhu’), di dalam kitab Silsilah
Ahadits Adh-Dha’ifah (Al-Albani, Silsilah
Al-Ahadits Ad-Dha’ifah, jilid 1 hal. 320
) maupun dalam kitab
Al-Irwa’ Al-Ghalil. (Al-Albani, Irwa’ Al-Ghalil,
jilid 4 hal. 401
)
Dan hanya berdasarkan kepalsuan hadits ini,
hukum adzan di telinga bayi pun juga dianggap bid’ah dan terlarang.
3. Hadits Ketiga.
عَنِ ابْنِ عَباَّسٍ  أَنَّ النَّبِيَّ  أَذَّنَ فيِ أُذُنِ الحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ يَوْمَ
وُلِدَ وَأَقَامَ فيِ أُذُنِهِ اليُسْرَى
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Nabi
SAW melantunkan adzan di telinga Al-Hasan bin Ali ketika dilahirkan, dan
melantunkan iqamah di telinga kirinya. (HR. Al-Baihaqi)
Inti dari masalah ini, ternyata para ulama
ahli hadits sendiri berbeda pendapat tentang status keshahihan masing-masing
hadits. Dan mereka juga berbeda pendapat tentang apakah bisa digunakan sebagai
dasar hukum atau tidak.
Pendapat Yang Mendukung Adzan di Telinga Bayi.
1. Ulama Mazhab Empat.
Umumnya para ulama di dalam mazhab
Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyunnahkan adzan untuk bayi yang baru lahir,
yaitu pada telinga kanan dan iqamat dikumandangkan pada telinga kirinya.
Selain mazhab Asy-Syafi’iyah, umumnya ulama
tidak menyunnahkannya, meski mereka juga tidak mengatakannya sebagai bid’ah.
Mazhab Al-Hanafiyah menuliskan masalah adzan kepada bayi ini dalam kitab-kitab
fiqih mereka, tanpa menekankannya.
Namun mazhab Al-Malikiyah memkaruhkan secara
resmi dan mengatakan bahwa adzan pada bayi ini hukumnya bid’ah. Walau pun ada
sebagian ulama dari kalangan Al-Malikiyah yang membolehkan juga. (Nihayatul Muhtaj jilid 3 hal. 133)
2. Pendapat Umar bin Abdul Aziz.
Diriwayatkan daam kitab Mushannaf Abdurrazzaq
bahwa Umar bin Abdul Aziz apabila mendapatkan kelahiran anaknya, beliau
mengadzaninya pada telinga kanan dan mengiqamatinya pada telinga kiri. (Mushannaf Abdurrazzaq, jilid 4 hal. 336)
3. Pendapat Ibnu Qudamah.
Ibnu Qudamah sebagai salah satu icon ulama
mazhab Al-Hanabilah menuliskan tentang masalah ini di dalam kitab fiqihnya yang
fenomenal, Al-Mughni.
قال بعض أهل العلم: يستحب للوالد ‏أن يؤذن في أذن
ابنه حين يولد
Sebagian ahli ilmu berpendapat hukumnya
mustahab (disukai) bagi seorang ayah untuk mengumandangkan adzan di telinga anaknya
ketika baru dilahirkan. (Ibnu Qudamah, jilid 11
hal, 120
)
4. Pendapat Ibnul Qayyim.
Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menuliskan
dalam kitabnya, Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud, bahwa adzan pada telinga
bayi dilakukan dengan alasan agar kalimat yang pertama kali didengar oleh
seorang anak manusia adalah kalimat yang membesarkan Allah SWT, juga tentang
syahadatain, dimana ketika seseorang masuk Islam atau meninggal dunia, juga
ditalqinkan dengan dua kalimat syahadat. (Ibnul
Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud, hal.22.
)
5. Pendapat Syeikh Abdullah bin Baz.
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ketika
ditanya tentang mengadzani bayi pada telinga kanan dan mengiqamati pada telinga
kiri, beliau menjawab sebagaimana tertuang dalam situsnya :
هذا مشروع عند جمع من أهل العلم وقد ورد فيه بعض
الأحاديث وفي سندها مقال فإذا فعله المؤمن حسن لأنه من باب السنن ومن باب التطوعات
Ini perbuatan masyru’ (disyariatkan) menurut
pendapat semua ahli ilmu dan memang ada dasar haditsnya, meskipun dalam
sanadnya ada perdebatan. Tetapi bila seorang mukmin melakukannya maka hal itu
baik, karena merupakan bagian dari pintu sunnah dan pintu tathawwu’at. (http://www.binbaz.org.sa/mat/9646)
Pendapat Yang Tidak Membolehkan.
Umumnya semua pendapat yang tidak membenarkan
adzan di telinga bayi kalau kita runut kembali kepada satu tokoh, yaitu
Nashiruddin Al-Albani, sebagaimana yang tertuang dalam kitab Silsilah dan Irwa’
di atas.
Sejatinya beliau bukan ulama syariah (fiqih)
dan sebenarnya ilmu haditsnya agak sedikit diperdebatkan di kalangan guru besar
hadits masa kini. Tentu saja selalu ada murid-muridnya yang selalu membela
gurunya dan kebetulan beliau rajin menulis buku.
Kebetulan pula oleh para murid dan
pembelanya, tulisan-tulisannya banyak diupload di internet dan memenuhi mesin
pencari Google. Sehingga kalau ada orang awam yang tidak mengerti syariah
mencari dengan Google, tulisan-tulisan yang membela pendapat Al-Albani terasa
lebih dominan.
Hati-hati Belajar Agama Islam Lewat Internet
Google.
Di luar masalah perbedaan pendapat antara
yang mendukung adzan dan tidak mendukung, ada satu hal yang perlu kita
perhatikan, yaitu hati-hati belajar agama Islam lewat internet atau Google.
Internet itu teknologi buatan manusia, fungsinya
memang luar biasa karena bisa menyatukan begitu banyak manusia di dunia ini
lewat alam maya. Dan Google sendiri adalah sebuah ‘keajaiban’ di dalam dunia
modern ini. Karena apapun yang tertuang di internet, Google bisa mencarinya.
Termasuk salah satunya informasi tentang agama Islam. Banyak orang bisa
memanfaatkan mesin pencari yang satu ini untuk mendapat ilmu agama.
Tetapi harus pula disadari bahwa Google itu
bukan ahli fiqih dan bukan ahli hadits. Google cuma robot yang bisa mencari
data di jagat alam maya, tanpa bisa memilah mana data sampah dan mana data yang
valid.
Kalau ada sejuta orang menulis di internet
bahwa babi itu halal, dan cuma ada sepuluh orang menulis bahwa babi itu haram,
maka berdasarkan mesin pencari Google, hukum babi itu jadi halal. Kenapa ?
Karena hasilnya lebih banyak yang bilang halal dari pada yang bilang haram.
Google tidak bisa membedakan mana tulisan
para ulama yang ahli di bidang ilmu syariah, dan mana tulisan orang yang awam
dengan agama. Dalam beberapa sisi, ‘demokrasi’ ala Google ini agak menyesatkan
juga. Maka kita tidak boleh menyerahkan agama kita secara pasrah bongkokan
kepada Mbah Google.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
(Dijawab Oleh Ahmad Sarwat, Lc., MA.)
Website : http://shulfialaydrus.blogspot.co.id/ atau https://shulfialaydrus.wordpress.com/
Instagram : @shulfialaydrus
Instagram Majelis Nuurus Sa’aadah : @majlisnuurussaadah
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi
Telegram : @habibshulfialaydrus
Telegram Majelis Nuurus Sa’aadah : @majlisnuurussaadah
Pin BBM : D45BD3BE
Pin BBM Channel Majelis Ta’lim Nuurus Sa’aadah : C003BF865
Facebook : https://www.facebook.com/habibshulfialaydrus/
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau https://www.facebook.com/groups/160814570679672/
Donasi atau infak atau sedekah.
Bank BRI Cab. JKT Joglo.
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5.
Penulis ulang : Muhammad Shulfi bin Abunawar
Al ‘Aydrus, S.Kom.
محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *