Nadzar. 



Nadzar
secara bahasa adalah janji secara mutlak baik berupa perbuatan baik atau buruk.
Sedangkan menurut syara’ adalah mewajibkan diri untuk melaksanakan
suatu qurbah (ibadah) yang bukan fardhu ‘ain dengan sighat tertentu. Nadzar
hanya berlaku pada ibadah sunnah (seperti shalat/puasa sunnah) atau fardhu
kifayah (seperti shalat jenazah, jihad fi sabilillah, dll), sehingga tidak sah Nadzar
pada ibadah fardhu ‘ain (seperti shalat 5 waktu, puasa ramadhan, dll) atau
yang bukan ibadah, baik pekerjaan mubah (seperti makan, tidur,dll), makruh
(seperti puasa dahr bagi orang yang khawatir sakit) ataupun haram
(seperti minum khomr, berjudi, dll).
Dalil
yang Menunjukkan Terlarangnya Memulai Bernadzar.
Dari
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
نَهَى
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ النَّذْرِ قَالَ « إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ
شَيْئًا ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ »
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bernadzar, beliau bersabda: ‘Nadzar
sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nadzar hanyalah dikeluarkan dari orang
yang bakhil (pelit)’.” (HR. Bukhari no. 6693 dan Muslim no. 1639)
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
تَنْذُرُوا فَإِنَّ النَّذْرَ لاَ يُغْنِى مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا
يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Janganlah
bernadzar. Karena Nadzar tidaklah bisa menolak takdir sedikit pun. Nadzar
hanyalah dikeluarkan dari orang yang pelit.” (HR. Muslim no. 1640)
Juga
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
النَّذْرَ لاَ يُقَرِّبُ مِنِ ابْنِ آدَمَ شَيْئًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ قَدَّرَهُ
لَهُ وَلَكِنِ النَّذْرُ يُوَافِقُ الْقَدَرَ فَيُخْرَجُ بِذَلِكَ مِنَ الْبَخِيلِ
مَا لَمْ يَكُنِ الْبَخِيلُ يُرِيدُ أَنْ يُخْرِجَ
“Sungguh
Nadzar tidaklah membuat dekat pada seseorang apa yang tidak Allah
takdirkan. Hasil Nadzar itulah yang Allah takdirkan. Nadzar hanyalah
dikeluarkan oleh orang yang pelit. Orang yang bernadzar tersebut mengeluarkan
harta yang sebenarnya tidak ia inginkan untuk dikeluarkan. ” (HR. Bukhari
no. 6694 dan Muslim no. 1640)
Hadits-hadits
di atas menunjukkan bahwa Nadzar itu terlarang. Demikianlah pendapat jumhur
(mayoritas ulama) yang memakruhkan bernadzar. Akan tetapi, jika terlanjur
mengucapkan Nadzar, maka Nadzar tersebut tetap wajib ditunaikan.
Dalil
yang Menunjukkan Wajibnya Menunaikan Nadzar.
Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ
لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
“Kemudian,
hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah
mereka menyempurnakan Nadzar-Nadzar mereka.” (QS. Al Hajj: 29)
Allah Ta’ala juga
berfirman,
وَمَا
أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ
يَعْلَمُهُ
“Apa
saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu Nadzarkan, maka sesungguhnya
Allah mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah: 270)
Allah Ta’ala memuji
orang-orang yang menunaikan Nadzarnya,
إِنَّ
الأبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا (٥)عَيْنًا
يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا (٦)يُوفُونَ
بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا (٧)
“Sesungguhnya
orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang
campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya
hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan
sebaik-baiknya. Mereka menunaikan Nadzar dan takut akan suatu hari yang azabnya
merata di mana-mana.” (QS. Al Insan: 5-7)
Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda,
مَنْ
نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ
يَعْصِهِ
“Barangsiapa
yang bernadzar untuk taat pada Allah, maka penuhilah Nadzar tersebut.
Barangsiapa yang bernadzar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah
memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)
Dari
‘Imron bin Hushoin radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda,
خَيْرُكُمْ
قَرْنِى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ – قَالَ
عِمْرَانُ لاَ أَدْرِى ذَكَرَ ثِنْتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا بَعْدَ قَرْنِهِ – ثُمَّ
يَجِىءُ قَوْمٌ يَنْذُرُونَ وَلاَ يَفُونَ ، …
“Sebaik-baik
kalian adalah orang-orang yang berada di generasiku, kemudian orang-orang
setelahnya dan orang-orang setelahnya lagi. -‘Imron berkata, ‘Aku tidak
mengetahui penyebutan generasi setelahnya itu sampai dua atau tiga kali’-.
Kemudian datanglah suatu kaum yang bernadzar lalu mereka tidak menunaikannya,
…. ” (HR. Bukhari no. 2651).
Hadits
ini menunjukkan berdosanya orang yang tidak menunaikan Nadzar.
Dari
ayat dan hadits di atas, kebanyakan ulama Malikiyah dan sebagian ulama
Syafi’iyah –seperti Imam Nawawi dan Al Ghozali- berpendapat bahwa hukum Nadzar
adalah sunnah.
Kompromi
Pendapat.
Jika
kita melihat dua pendapat di atas, yang satu mengatakan makruh dan yang lainnya
sunnah. Pendapat jumhur (mayoritas ulama) juga ada sedikit problema. Padahal
kita ketahui bersama ada kaedah, wasilah (perantara) kepada ketaatan, maka
bernilai ketaatan dan wasilah pada maksiat, maka bernilai maksiat. Lalu kenapa
berniat Nadzar bisa jadi makruh, padahal penunaiannya wajib?!
Cara
kompromi yang lebih baik sehingga tidak muncul problema seperti di atas adalah
kita katakan bahwa Nadzar itu ada dua macam:
Pertama,
Nadzar mu’allaq untuk memperoleh manfaat. Maksud Nadzar ini adalah
dengan bersyarat, yaitu jika permintaannya terkabul, barulah ia akan melakukan
ketaatan. Contohnya, seseorang yang bernadzar, “Jika Allah menyembuhkan saya
dari penyakit ini, maka saya akan bersedekah sebesar Rp.2.000.000.”
Kedua,
Nadzar muthlaq, artinya tidak menyebutkan syarat. Contohnya, seseorang
yang bernadzar, “Aku ikhlas pada Allah mewajibkan diriku bersedekah untuk
masjid sebesar Rp.2.000.000”.
Kita
katakan bahwa hadits-hadits yang menjelaskan larangan untuk bernadzar
dimaksudkan untuk Nadzar macam yang pertama. Karena Nadzar macam pertama
sebenarnya dilakukan tidak ikhlas pada Allah, tujuannya hanyalah agar orang
yang bernadzar mendapatkan manfaat. Orang yang bernadzar dengan macam yang
pertama hanyalah mau bersedekah ketika penyakitnya sembuh. Jika tidak sembuh,
ia tidak bersedekah. Itulah mengapa dalam hadits disebut orang yang pelit
(bakhil).
Perlu
juga diketahui bahwa kenapa dilarang untuk bernadzar sebagaimana disebut dalam
hadits-hadits larangan? Jawabnya, agar jangan disangka bahwa tujuan Nadzar itu
pasti terwujud ketika seseorang bernadzar atau jangan disangka bahwa Allah
pasti akan penuhi maksud Nadzar karena Nadzar taat yang dilakukan. Sebagaimana
dikatakan dalam hadits bahwa Nadzar sama sekali tidak menolak apa yang Allah
takdirkan. Dalam hadits Ibnu ‘Umar yang lainnya disebutkan,
النَّذْرُ
لاَ يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلاَ يُؤَخِّرُهُ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ
الْبَخِيلِ
“Nadzar
sama sekali tidak memajukan atau mengakhirkan apa yang Allah takdirkan. Sungguh
Nadzar hanyalah keluar dari orang yang pelit.” (HR. Muslim no. 1639)
Jadi
larangan yang dimaksudkan dalam hadits-hadits yang melarang Nadzar adalah
larangan irsyad (alias: makruh) untuk memberi petunjuk bahwa ada cara yang
lebih afdhol, yaitu sedekah dan amalan ketaatan bisa dilakukan tanpa mesti
mewajibkan diri dengan bernadzar. Atau kita bisa bernadzar dengan Nadzar yang
tanpa syarat seperti kita katakan ketika penyakit kita sembuh, “Aku ingin bernadzar
dengan mewajibkan diriku untuk berpuasa.” Di sini tidak disebutkan syarat,
namun dilakukan hanya dalam rangka bersyukur pada Allah.
Syarat
sah Nadzar.
Syarat-syarat nadzir (orang
yang Nadzar) :

Beragama Islam.

Atas kehendak sendiri (bukan terpaksa).

Orang yang sah tasharrufnya (baligh dan berakal).
– Memungkinkan
untuk melaksanakan Nadzarnya.
Maka
tidak sah Nadzar kafir (kerana kafir tidak sah berbuat kebajikan), anak kecil,
orang gila, dalam keadaan dipaksa, melakukan perkara yang tidak memungkinkan
untuk melaksanakannya seperti Nadzar puasa bagi orang yang sakit parah dan Nadzar
orang kafir (khusus Nadzar tabarrur).
Syarat
Ucapan yang diguna untuk bernadzar.

Disyaratkan pada ucapan Nadzar hendaklah lafas yang memberi tahu melazimka
(mewajibkan) sesuatu, seperti berkata seorang yang bernadzar “bagi Allah wajib
atas ku puasa”. Puasa di sini sebagai contoh boleh dimasukkan yang lain.

Tidak sah Nadzar dengan diniat didalam hati, kerana Nadzar termasuk dalam akad
maka syaratnya mesti berlafas.
Macam
Nadzar dan Hukumnya.
Nadzar
dilihat dari hal yang diNadzari (al mandzur) dibagi menjadi dua macam:
Pertama,
Nadzar taat.
Seperti
seseorang mewajibkan pada dirinya untuk melakukan amalan yang sunnah (seperti
shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah sunnah, i’tikaf sunnah, haji sunnah) atau
melakukan amalan wajib yang dikaitkan dengan sifat tertentu (seperti bernadzar
untuk melaksanakan shalat lima waktu di awal waktu).
Adapun
jika seseorang bernadzar untuk melakukan shalat lima waktu atau melakukan puasa
Ramadhan, maka bentuk semacam ini tidak dianggap Nadzar karena hal tersebut
sudah wajib. Hal yang telah Allah wajibkan tentu lebih agung daripada hal yang
diwajibkan lewat Nadzar.
Hukum
penunaian Nadzar taat.
Hukum
penunaiannya adalah wajib, baik Nadzar tersebut Nadzar mu’allaq atau Nadzar
muthlaq. Dalil yang menunjukkan wajibnya adalah,
مَنْ
نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ
“Barangsiapa
yang bernadzar untuk taat pada Allah, maka penuhilah Nadzar tersebut.” (HR.
Bukhari no. 6696)
Dalil
lainnya, dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata,
أَنَّ
عُمَرَ – رضى الله عنه – نَذَرَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَعْتَكِفَ فِى
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ – قَالَ أُرَاهُ قَالَ – لَيْلَةً قَالَ لَهُ رَسُولُ
اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَوْفِ بِنَذْرِكَ
»
“Dahulu
di masa jahiliyah, Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bernadzar untuk beri’tikaf di
masjidil haram –yaitu i’tikaf pada suatu malam-, lantas Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda padanya, ‘Tunaikanlah Nadzarmu’.” (HR. Bukhari no.
2043 dan Muslim no. 1656)
Jika
Nadzar tidak mampu ditunaikan.
Jika
Nadzar yang diucapkan mampu ditunaikan, maka wajib ditunaikan. Namun jika Nadzar
yang diucapkan tidak mampu ditunaikan atau mustahil ditunaikan, maka tidak
wajib ditunaikan. Seperti mungkin ada yang bernadzar mewajibkan dirinya ketika
pergi haji harus berjalan kaki dari negerinya ke Makkah, padahal dia sendiri
tidak mampu. Jika Nadzar seperti ini tidak ditunaikan lantas apa gantinya?
Barangsiapa
yang bernadzar taat, lalu ia tidak mampu menunaikannya, maka Nadzar tersebut
tidak wajib ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh
sumpah.
Kafaroh
sumpah adalah:
Memberi
makan kepada sepuluh orang miskin, atau
Memberi
pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
Memerdekakan
satu orang budak.
Jika
tidak mampu ketiga hal di atas, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga
hari.
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ
وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ
إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ
كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ
أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ ۚ وَاحْفَظُوا
أَيْمَانَكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang
siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. Al Maidah : 89)
Kedua,
Nadzar yang bukan bentuk taat.
Nadzar
jenis kedua ini dibagi menjadi dua macam: (1) Nadzar mubah, (2) Nadzar maksiat.
(1)
Nadzar mubah.
Seperti
seseorang bernadzar, “Jika lulus ujian, saya akan berenang selama lima jam.” Nadzar
seperti ini bukanlah Nadzar taat, namun Nadzar mubah. Untuk penunaiannya
tidaklah wajib. Bahkan jumhur (mayoritas ulama) menyatakan bahwa bentuk seperti
ini bukanlah Nadzar.
(2)
Nadzar maksiat.
Seperti
seseorang bernadzar, “Jika lulus ujian, saya akan traktir teman-teman
mabuk-mabukan.” Nadzar seperti ini tidak boleh ditunaikan berdasarkan hadits,
وَمَنْ
نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barangsiapa
yang bernadzar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ”
(HR. Bukhari no. 6696)
Lalu
apakah ada kafaroh? Jawabnya, tetap ada kafaroh berdasarkan hadits,
النذر
نذران : فما كان لله ؛ فكفارته الوفاء وما كان للشيطان ؛ فلا وفاء فيه وعليه كفارة
يمين
“Nadzar
itu ada dua macam. Jika Nadzarnya adalah Nadzar taat, maka wajib ditunaikan.
Jika Nadzarnya adalah Nadzar maksiat -karena syaithon-, maka tidak boleh
ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh sumpah.” (HR. Ibnu
Jarud, Al Baihaqi)
Wallahu
a’lam bishowwab.
Referensi
dari berbagai macam sumber.
Website :
http://shulfialaydrus.blogspot.co.id/ atau
https://shulfialaydrus.wordpress.com/
Instagram : @shulfialaydrus
Instagram Majelis Nuurus Sa’aadah :
@majlisnuurussaadah
Twitter : @shulfialaydrus dan @shulfi   
Telegram : @habibshulfialaydrus
Telegram Majelis Nuurus Sa’aadah :
@majlisnuurussaadah
Facebook :
https://www.facebook.com/habibshulfialaydrus/
Group Facebook : Majelis Nuurus Sa’aadah atau
https://www.facebook.com/groups/160814570679672/
Donasi atau infak atau sedekah.
Bank BRI Cab. JKT Joglo.
Atas Nama : Muhamad Shulfi.
No.Rek : 0396-01-011361-50-5.
Penulis : Muhammad Shulfi bin Abunawar Al
‘Aydrus, S.Kom.
محمد سلفى بن أبو نوار العيدروس

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *